Wednesday, December 8, 2010

Efek Sinar Biru Televisi Terhadap Kecerdasan Anak

Efek Sinar Biru Televisi Terhadap Kecerdasan Anak

(sumber: http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=188194) 

 

Sabtu, 8 Desember 2007

Cara paling mudah dilakukan para pengasuh anak maupun para ibu untuk membuat anaknya duduk tenang adalah dengan menyalakan televisi. Anak terlihat riang menonton tayangan televisi, sementara para ibu atau pengasuh bayi bisa melakukan berbagai pekerjaan mulai dari membereskan rumah, mencuci hingga memasak untuk keluarga.

 

Banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan para ibu, tanpa disadari mereka membiarkan anak menonton televisi sepanjang hari. Padahal, ada bahaya mengintai bagi anak, terutama balita (bayi di bawah lima tahun) bila anak terlalu banyak menonton televisi. Kecerdasan adalah taruhannya!

 

"Televisi memiliki dampak positif dan negatif bagi anak. Tetapi membiarkan anak menonton televisi sepanjang hari, pastinya akan menurunkan tingkat kecerdasan anak," kata dr Hardiono D Pusponegoro SpA (K), dokter spesialis anak konsultan neurology dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dalam media edukasi tentang "Efek Sinar Biru Televisi Terhadap Kesehatan Mata Anak", di Jakarta, Rabu (28/11).

 

Dr Hardiono menjelaskan, dengan hanya menonton televisi, otak kehilangan kesempatan mendapat stimulasi dan kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam hubungan sosial dengan orang lain, bermain kreatif dan memecahkan masalah. Selain itu, televisi bersifat satu arah, sehingga membuat anak kurang mengeksplorasi dunia tiga dimensi dan kehilangan peluang mencapai tahapan perkembangan yang baik.

 

"Sebuah penelitian di Amerika menunjukkan anak usia dibawah lima tahun yang rata-rata menonton televisi 2 jam sehari, setelah usianya beranjak 6-7 tahun diketahui mengalami penurunan kemampuan membaca dan daya ingat," ucapnya.

 

Hal senada dikemukakan Elly Risman, psikolog anak yang juga Ketua Yayasan Kita & Buah Hati. Katanya, banyak orang tua yang "membayar kekurangan waktu bersama" dengan anaknya dengan memberi berbagai permainan elektronik seperti play station (PS), video game, handphone dan lainnya.

 

Sementara, bagi orangtua yang kurang mampu, memberi uang kepada anaknya untuk bermain video game di warnet atau ke rental PS. Anak bermain video game selama berjam-jam.

 

"Setelah sampai rumah, anak kembali berhadapan dengan televisi. Menonton tayangan televisi sepanjang hari. Televisi telah menjadi baby sitter bagi anak kita. Bahkan sebuah harian Jakarta pernah melakukan penelitian bahwa anak Indonesia menonton televisi rata-rata 3-6 jam per hari. Itu berarti 2 kali lipat dibandingkan anak Australia, 3 kali lipat dibandingkan anak Amerika dan 5 kali lipat dibandingkan dengan anak Kanada," tutur Elly Risman.

 

Ia menambahkan, sambungan-sambungan antar synaps (jaringan dalam otak yang membuat cerdas seorang anak) sangat ditentukan oleh gerakan tubuh. Bila anggota tubuh bergerak, maka otak akan membuat jaringan tentang aktifitas itu terus menerus sehingga menjadi kebiasaan. Otak akan mengabadikannya. Synap tidak berkembang dengan baik.

 

"Karena itu, para ahli neuroscience sepakat, yang saya kutip dari situsnya www.tvturnoff.com bahwa menggunakan mata menonton televisi terlalu banyak akan membuat anak kesulitan membaca," tuturnya.

 

Efek Sinar Biru Dr Hardiono menambahkan, bahaya televisi lainnya adalah efek sinar biru. Sinar biru adalah sinar dengan panjang gelombang cahaya 400-500 nm yang dapat berpotensi terbentuknya radikal bebas dan menimbulkan fotokimia ada retina mata anak. Lensa mata anak masih peka dan belum dapat menyaring bahaya sinar biru. Karena itulah risiko terbesar kerusakan akibat sinar biru terdapat pada usia dini.

 

"Jadi efek negatif dari televisi jadi ganda. Tidak hanya mengganggu kecerdasan anak, tetapi juga kesehatan matanya," ucap dr Hardiono.

 

Ia memaparkan, bayi dilahirkan dengan lensa yang relatif yang secara bertahap dan alami berubah menjadi kuning sejalan dengan usia. Perubahan warna tersebut menghambat secara progresif sinar biru yang melewati lensa sebagai fungsi linear usia. Sekitar 70-80 persen sinar biru dapat mencapai belakang mata pada usia 0-2 tahun dan 60-70 persen pada usia 2-10 tahun. Sedangkan sinar biru yang disalurkan pada usia 60-90 tahun hanya mencapai 20 persen. "Masalah gangguan mata pada balita ini dapat diatasi dengan mengkonsumsi lutein sebagai carotenoid alami yang dapat membantu melindungi mata anak yang masih peka terhadap bahaya sinar biru. Lutein dapat membantu melindungi mata dari kerusakan dengan cara menyaring sinar biru yang berperan sebagai antioksidan. Sayangnya, tubuh tidak dapat mensitesa lutein. Kebutuhan lutein harus diambil dari sayuran, buah, suplemen dan ASI (Air Susu Ibu)," tutur pendiri Klinik Anakku itu.

 

Upaya yang bisa dilakukan orangtua untuk meminalisir efek sinar biru terhadap kecerdasan dan kesehatan anaknya, menurut dr Hardiono, adalah membatasi intensitas dan frekuensi anak beraktivitas di depan layar televisi atau monitor. Orangtua perlu untuk merangsang anak melakukan aktivitas lain seperti bermain dengan teman dan lingkungannya, berolahraga dan aktivitas kreatif lainnya untuk merangsang perkembangan otaknya semakin lengkap.

 

"Salah jika ada anggapan jika sel otak berkembang sepanjang usia. Sel otak justru berkembang dengan cepat dan lengkap dibawah usia 5 tahun atau dikenal dengan istilah the golden age. Hal itu yang harus disadari banyak orangtua," kata dr Hardiono.

 

Sementara Elly Risman mengemukakan, masyarakat membutuhkan informasi dan pembelajaran mengenai dampak dari berbagai layar itu bagi pertumbuhan fisik anak, terutama masalah penglihatan mereka dan perkembangan jiwa dan spiritualnya. Karena sebenarnya dalam hidup seseorang anak manusia bukan hanya memerlukan gizi fisik, tetapi juga gizi manusia dan gizi spiritual.

 

Untuk itu, lanjut Elly, semua pihak perlu memberi kontribusi dan kerjasamanya, terutama pemerintah. Diperlukan tiga C dari pemerintah, yaitu concern, commitment dan continuity. Diharapkan, masyarakat bisa memiliki kesadaran dan pengetahuan tentang dampak layar bagi kehidupan buah hati. Sehingga mereka dapat bersikap dan kemudian menunjukkan perilaku yang sehat terhadapat pemanfaatan teknologi.

 

"Jika anak sudah terlanjur memiliki kebiasaan buruk dan perilaku kasar pada usia 0-7 tahun, harus mampu dibayangkan apa yang akan terjadi di masa depan. Mengasuh anak di era layar seperti sekarang ini diperlukan kesepakatan orangtua untuk menjalankan pengasuhan bersama, bukan pada satu orang saja. Misalnya, pada istri atau suami," kata Elly menandaskan. (Tri Wahyuni)

No comments:

Post a Comment