Monday, October 24, 2011

Bahayanya Menolak Imunisasi by Agnes Tri Harjaningrum

Bismillah...

beberapa hari yang lalu saya sempat posting di facebook tentang isu kontroversi ini...
kebetulan sejumlah temanku ada yang anti imunisasi...
jadi ada yang sempet coba 'meyakinkanku' utk ikut gerakan anti imunisasi...
sampe dibilang suamiku, "makanya bikin status jangan yang mengundang kontroversi " hehe

Aku sempet baca artikel2 dari yang anti vaksin, termasuk dari temenku,,,,
karena aku berusaha untuk membuka pikiranku...

tapi setelah baca artikel ini, aku jadi tenang...

~ please jangan berantem lagi di blog ini...

Bahayanya Menolak Imunisasi

by Agnes Tri Harjaningrum on Saturday, October 22, 2011 at 8:52am

.

Mulanya, ia adalah seorang wanita yang sungguh rupawan. Namun,
kecantikan itu lenyap pada usianya yang ke 26 setelah penyakit
smallpox (variola atau cacar monyet) menyerangnya dan meninggalkan
jejak parut alias bopeng di wajahnya. Alis wajahnya pun menghilang
akibat penyakit yang sama(1). Di masanya dahulu, smallpox memang
penyakit yang cukup mengerikan, penyakit infeksi pembunuh terbesar. Di
akhir abad ke-18 penyakit ini telah membunuh 400.000 warga eropa per
tahunnya, yang sebagian besar adalah anak-anak. Bahkan diperkirakan
sekira 300-500 juta orang di abad ke-20 telah meninggal akibat
penyakit ini(2). Selain memunculkan bopeng yang membuat penderitanya
menjadi buruk rupa dan menyebabkan kematian, smallpox juga menyebabkan
kebutaan serta penyakit tulang. Penyakit  yang disebabkan oleh virus
variola ini pun sangat mudah menular, hanya lewat udara, percikan
ludah atau berdekatan saja, orang lain bisa tertular(3), sungguh seram
bukan?



Untungnya, vaksinasi untuk melawan smallpox yang pertama kali
ditemukan oleh Edward jenner berhasil membuat penyakit ini lenyap dari
muka bumi. Tahun 1979, WHO mengumumkan  bahwa penyakit ini telah
berhasil dieradikasi(4). Bayangkan kalau penyakit ini masih ada hingga
kini, berapa banyak wajah rupawan yang harus jadi korban, berapa
banyak nyawa lagi yang harus terbang. Edward Jenner patut diberi
penghargaan memang. Namun, dibalik sukses Edward Jenner sebagai penemu
vaksin pertama kali, inoculation, atau menanamkan bibit penyakit pada
orang sehat, agar terbentuk imunitas tubuh terhadap penyakit tersebut
sebetulnya telah dilakukan berabad-abad sebelumnya oleh bangsa
Cina(5). Cara ini pun telah dilakukan oleh bangsa Turki di jaman
kerajaan Ottoman(6).



Wanita yang diceritakan di atas adalah Lady Mary Wortley Montagu(1,6),
seorang istri ambassador Inggris yang pada tahun 1717 sempat tinggal
di Turki selama 2 tahun untuk menemani suaminya yang bertugas disana.
Saat tinggal di Turki, ia memperhatikan kebiasaan orang Turki dan
menyaksikan seorang wanita Turki yang melakukan inoculation  untuk
melawan penyakit smallpox. Wanita Turki ini mengambil nanah dari luka
penderita penyakit smallpox. Lalu, dibuatlah beberapa sayatan di tubuh
anak yang sehat, dan nanah tersebut ditanamkan pada sayatan itu dan
dibalut.  Lady Mary melihat anak yang sehat itu mengalami demam
beberapa hari, namun kemudian sembuh dan kebal terhadap penyakit
smallpox. Saat pulang ke negaranya, Lady Mary dengan antusias
mempromosikan cara Turki itu. Namun ia ditentang oleh kalangan medis
ketika itu dengan alasan konyol namun masuk akal untuk kondisi saat
itu: karena dia adalah seorang perempuan, dan karena ide yang dia bawa
berasal dari Timur (Turki). Meskipun begitu, Lady Mary tetap melakukan
inoculasi melawan smallpox untuk anak lelakinya, dan anak lelakinya
pun menjadi kebal terhadap smallpox. Beberapa puluh tahun kemudian,
barulah Edward Jenner muncul dan mempublikasikan bukti penemuannya
tentang vaksin Smallpox.



Jika melihat sejarah, ternyata awal mula munculnya vaksinasi berasal
dari Bangsa Cina dan Turki (yang saat kerajaan Ottoman berkuasa
negaranya berlandaskan Islam). Merekalah yang telah mempraktekan cikal
bakal vaksinasi. Mengapa membaca sejarah dalam hal ini menjadi
penting? Karena belakangan ini di Indonesia gerakan anti imunisasi
mulai berkembang dan membuat para orangtua bimbang. Dari sejarah, kita
bisa melihat dengan jernih asal muasal vaksinasi, dan apakah betul
vaksinasi memang hanya merupakan teori konspirasi untuk melemahkan
suatu kaum sehingga patut dihindari? Dan apakah betul manfaat
vaksinasi lebih sedikit daripada kebaikannya sehingga layak untuk
diantipati? Mari kita kaji lagi dengan seksama dan hati-hati.



Gerakan Anti-Imunisasi



Sebetulnya anti imunisasi sudah ada sejak jaman dulu, bahkan sejak
Edward Jenner dengan vaksinasi temuannya berhasil mengurangi kasus
smallpox dengan sangat signifikan. Poland GA dan Jacobson RM di tahun
2001(7) dalam artikelnya yang diterbitkan oleh Vaccine jurnal
mengatakan bahwa CDC (The Center for Disease Control and Prevention)
telah membuat booklet yang didalamnya mengumpulkan kritik dan
keberatan dari para anti imunisasi berkaitan dengan vaksinasi. Selain
alasan teori konspirasi dan politik seperti kecurigaan terhadap
keuntungan  yang didapat perusahaan vaksin, isu kaum minoritas, serta
genocide ( pembunuhan masal suatu kaum), isu-isu lain juga muncul.
Jika membaca website-website anti imunisasi dalam internet, isue-isue
tersebut memang sering disebut-sebut diantaranya: bahwa penyakit sudah
mulai hilang sebelum vaksin digunakan, jadi buat apa divaksinasi;
bahwa alih-alih meningkatkan kekebalan tubuh, vaksin malah menyebabkan
kesakitan dan kematian; bahwa penyakit yang bisa dicegah oleh vaksin
sudah dieliminasi jadi buat apa divaksin; bahwa semakin banyaknya
vaksin yang masuk bisa menyebabkan kekebalan tubuh kita terbebani; dan
bahwa cara vaksin bekerja dengan menanamkan bibit penyakit untuk
meningkatkan kekebalan tubuh adalah cara yang tidak alami.



Masih dalam jurnal yang sama dikatakan bahwa saat ini lebih dari 300
anti vaccine website tersebar di internet. Para aktivis anti imunisasi
tersebut tidak hanya mengambil keuntungan dari kemudahan penyebaran
informasi dari debat di internet, tetapi juga melebih-lebihkan dan
mendramatisir kasus-kasus reaksi efek samping akibat imunisasi kepada
media dan masyarakat. Informasi-informasi yang seolah ilmiah, padahal
kadang salah kaprah atau diinterpretasikan secara salah menimbulkan
ketakutan dan kekhawatiran di masyarakat. Fakta yang sesungguhnya,
data ilmiah yang valid dan bisa dipercaya telah dikaburkan oleh media
dan gerakan anti imunisasi sehingga ketakutan masyarakat semakin
menjadi.



Fakta yang tidak akurat

Dokter Ed Friedlander dalam websitenya(8) telah membeberkan beberapa
contoh kesalahan interpretasi yang sering terjadi entah disengaja
ataupun tidak oleh para anti imunisasi. Menurut dokter Ed, dengan
membaca tulisan-tulisan yang sekilas mencantumkan sumber jurnal dan
orang terkenal atau para ahli, orang awam yang tidak mengerti dunia
ilmiah akan segera terpengaruh oleh tulisan-tulisan tersebut.
Contohnya bisa kita lihat dari sebuah website anti imunisasi berbahasa
Indonesia yang penulisannya seperti ini:



“SIDS (Sudden Infant Death Syndrome) naik dari 0.55 per 1000 orang di
1953 menjadi 12.8 per 1000 pada 1992 di Olmstead County, Minnesota.
Puncak kejadian SIDS adalah umur 2 – 4 bulan, waktu di mana vaksin
mulai diberikan kepada bayi. 85% kasus SIDS terjadi di 6 bulan pertama
bayi. Persentase kasus SIDS telah naik dari 2.5 per 1000 menjadi 17.9
per 1000 dari 1953 sampai 1992. Naikan kematian akibat SIDS meningkat
pada saat hampir semua penyakit anak-anak menurun karena perbaikan
sanitasi dan kemajuan medikal kecuali SIDS. Kasus kematian SIDS
meningkat pada saat jumlah vaksin yang diberikan kepada balita naik
secara meyakinkan menjadi 36 per anak.”



Tulisan ini tidak memberikan kutipan dari mana sumber asli jurnal
ilmiahnya, padahal data-data merujuk tentang penelitian yang
semestinya berasal dari jurnal. Lalu, kalau melihat websitenya, ada
jualan obat herbal juga dibaliknya. Sementara kalau melihat jurnal
ilmiah, issue tentang vaksin DPT dan hubungannya dengan SIDS ini telah
dibantah. Sejak 1982, telah dilakukan penelitian secara mendalam
tentang hubungan antara vaksinasi DPT (Diptheri, Pertusis, dan
Tetanus) dan SIDS, tapi ternyata tidak ada hubungannya. Dari telaah
dokter Ed, data yang menunjukkan tidak adanya hubungan antara vaksin
DPT dan SIDS bisa didapatkan dari jurnal-jurnal berikut: J. Ped. 129:
695, 1996; Am. Fam. Phys. 54: 185, 1996. Malah berdasarkan penelitian
dari Edinburgh (FEMS Immuno. Med. Micro. 25: 183, 1999) imunisasi DPT
justru bisa melawan SIDS. SIDS sendiri kemungkinan malah disebabkan
oleh pertusis (Eur. J. Ped. 155: 551, 1996.).

Begitu juga dengan issue lain seperti vaksin hepatitis B menyebabkan
penyakit multiple sclerosis, issue vaksin MMR menyebabkan autism, dan
issue-issue lainnya, semua sudah dibantah secara ilmiah(9).



Memang betul vaksin adalah obat yang tidak mungkin 100 persen sempurna
dan aman, jadi  walaupun diciptakan untuk mencegah penyakit tapi tentu
bisa menyebabkan efek samping. Sejak 1990,  CDC and FDA sudah membuat
VAERS The Vaccine Adverse Event Reporting System  untuk mendeteksi
reaksi yang tidak diinginkan atau efek samping dari vaksinasi(10).
Setelah kasus dilaporkan, badan ini akan melacak apakah penyebabnya
memang lantaran vaksinasi atau bukan. Setiap Negara pada prinsipnya
mempunyai lembaga ini yang juga mempunyai fungsi yang sama.



Karena itu sangat disarankan  bagi orangtua agar  tetap well informed.
Sebelum mengimunisasi  anaknya, bertanya, membaca atau mendapatkan
informasi terlebih dahulu tentang kemungkinan efek samping dan reaksi
yang ditimbulkan dari sebuah vaksin serta mengetahui tindakan pertama
yang harus dilakukan ketika terjadi efek samping, sangatlah penting.
Tapi seringnya, meskipun ada, efek samping vaksinasi hanyalah  ringan,
jika pun berat umumnya tidak berhubungan langsung dengan imunisasi.
Kalaupun ada hubungan dan akibatnya cukup fatal, itu terjadi hanya 1:
100.000 orang yang telah mendapatkan manfaat imunisasi.



Sayangnya jika ada kejadian fatal, media kerap meniup-niupkan dan
membuatnya bombastis serta emosional, sementara  ketika kasus penyakit
yang bisa dicegah dengan vaksinasi mewabah dan menimbulkan kematian
banyak orang, beritanya tidak dibesar-besarkan. Manfaat vaksin yang
lebih besar ketimbang efek sampingnya  juga sering tidak dimunculkan.
Alhasil masyarakat semakin ketakutan.



Sebagai contoh, Ben Goldrace, seorang dokter dan penulis science,
dalam sebuah artikelnya menceritakan bahwa 1592 artikel di google news
memberitakan tentang seorang gadis yang meninggal tiba-tiba setelah
mendapatkan vaksin pencegah kanker leher rahim(25). Namun, hanya 363
artikel yang memberitakan bahwa setelah di autopsi ternyata penyebab
kematian si gadis adalah lantaran telah memiliki tumor parah di
paru-parunya yang sebelumnya tak terdiagnosa. Ini menunjukkan bahwa
ketidakseimbangan media dalam pemberitaan ternyata bisa turut andil
dalam penyebaran rumor tak sedap tentang vaksin.



Dampak menolak imunisasi



Padahal dampak dari ketakutan dan menghindari imunisasi ini tidak
sederhana, malah bisa mengancam nyawa. Dengan menolak imunisasi,
sebenarnya yang rugi bukan anak  sendiri, tapi kita juga jadi
membahayakan anak lain. Mari kita belajar dari merebaknya kasus
pertusis di Amerika Serikat tahun 2010, beberapa sekolah harus ditutup
dan setidaknya sepuluh bayi meninggal akibat merebaknya pertusis
ini(11). Dan sejak tahun 2007, akibat gerakan anti vaksinasi, telah
terjadi 77.000  penyakit yang sebetulnya bisa dicegah.  Dampak secara
tidak langsungnya, gerakan anti vaksinasi ini juga telah mengakibatkan
700 kematian dalam rentang tahun yang sama.



Bukti-bukti ilmiah tentang manfaat vaksin sudah begitu banyak. Beragam
data terpercaya menunjukkan bahwa bila angka cakupan vaksinasi menurun
maka wabah penyakit akan muncul(11, 21). Masih perlu bukti lainnya?
Selain fakta di Amerika Serikat tentang pertusis, bukti nyata  juga
baru saja terjadi di Indonesia dengan merebaknya kasus Diptheri di
Jawa Timur. Kasus diptheri tersebut telah menyerang 300 orang dan 11
anak meninggal karenanya. Artikel yang berjudul ‘Biofarma jawab pro
kontra imunisasi’(12) mengaminkan bahwa dalam 6 tahun belakangan
cakupan imunisasi di Indonesia memang menurun dan salah satunya
terjadi karena gerakan anti imunisasi. Kejadian ini sungguh membuat
miris mengingat diphteri adalah penyakit ‘urdu’ yang sudah lama
kasusnya tidak ditemukan berkat adanya vaksinasi. Bukti lain lagi
terjadi pada merebaknya kasus campak  baru-baru ini, yang terjadi di
negara-negara dengan  angka cakupan vaksinasi turun seperti di
Prancis, Belgia, Jerman, Romania, Serbia, Spanyol, Macedonia dan
Turkey (11). Baru saja di tahun 2011 juga terjadi 334 kasus campak di
Inggris, padahal tahun sebelumnya hanya 33 kasus.



Meskipun tampaknya sedikit, tapi kerugian akibat merebaknya penyakit
yang bisa dicegah dengan imunisasi ini sungguh tak sedikit. Sebuah
laporan kasus yang ditulis dalam Oxford jurnal(13) menjadi contohnya.
Dilaporkan, seorang wanita yang tidak pernah mendapat imunisasi campak
kemudian terkena campak lalu pergi ke sebuah rumah sakit di Swiss.
Akibatnya setelah itu 14 orang tertular campak dari si wanita,
termasuk 4 orang anak-anak. Kerugian yang ditimbulkan hanya dari 1
wanita ini diperkirakan berkisar $800.000, belum lagi dampak
kesakitan yang ditimbulkan pada 14 orang itu. Lihat, hanya dari satu
orang saja yang menolak vaksinasi, ternyata dampaknya sungguh besar.



Data dalam negeri dari Jawa Barat mencatat bahwa pada tahun 2010 telah
terjadi 25 KLB (Kejadian Luar Biasa) penyakit campak, dengan total 739
penderita, sedangkan pada tahun 2011 status KLB meningkat menjadi 35
kali dengan penderita sebanyak 950 orang(14). Kerugian yang
ditimbulkan  sungguh besar, bukan hanya korban tapi juga biaya.
Menurut menteri kesehatan, bila terjadi KLB di suatu daerah, dana yang
dibutuhkan adalah 8 miliar rupiah, itu pun masih harus dibantu
anggaran dari pusat sebesar 13-14 miliar(22). Jumlah uang  yang
seharusnya tak perlu terbuang. Sungguh disayangkan.



Isue anti-imunisasi di Indonesia



Imunisasi hanyalah konspirasi Yahudi dan genocide



Bila kita tengok lebih dalam tentang isu anti imunisasi di Indonesia,
belakangan kerap muncul artikel-artikel dan buku-buku bertuliskan
‘Bahaya imunisasi dan konspirasi yahudi’ lalu isinya kerap
mencantumkan kalimat seperti ‘Imunisasi bertujuan untuk melenyapkan
sebuah umat’. Teori konspirasi dilandasi oleh asumsi, kecurigaan yang
seringnya tidak rasional, dan lebih memunculkan emosi sehingga sulit
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Meski begitu, teori konspirasi
sangat mudah berkembang dan dipercaya orang, namun sulit untuk
dihilangkan(15).



Goertzel T (2010) (16), dalam tulisannya yang berjudul ‘Conspiracy
theories in science’ mengakui bahwa karena hal-hal  yang tidak
objektif diatas, para ilmuwan sering enggan untuk terlibat dalam
diskusi teori konspirasi. Meskipun para ilmuwan telah bekerja sangat
keras untuk tetap objektif dan rasional, misalnya dengan mensyaratkan
tahapan-tahapan ilmiah dalam setiap penelitian; mensyaratkan bahwa
setiap jurnal harus dikritisi lagi oleh sesama ilmuwan (peer reviewed)
dan anonym pula, tapi tetap saja hasil kerja para ilmuwan akan
diserang oleh teori konspirasi.

Ketakutan terhadap science dan keyakinan terhadap teori konspirasi
ini dampaknya sungguh tidak sederhana. Kasus desas desus MMR
(Measleas, Mums, Rubela)  vaksin menyebabkan autism di Inggris  di
tahun 1998 telah menyebabkan angka cakupan imunisasi di Inggris
menurun tajam(17). Akibatnya  wabah campak dan gondongan disana
merebak dan menyebabkan kematian serta cacat berat serta permanen.
Meskipun Andrew Wakefield, dokter yang pertama kali membuat issue
tersebut telah dikenakan sangsi (dicabut ijin prakteknya) dan MMR
telah dinyatakan tidak ada hubungannya dengan autism(23), tapi dampak
kematian dan penyakit yang ditimbulkan telah terjadi dan hanya bisa
disesali.



Ketakutan akan science ini bukan sesuatu yang baru. Benjamin Franklin
juga dulu takut  mengimunisasi keluarganya untuk melawan penyakit
smallpox. Namun kemudian dia menyesal ketika anak lelakinya meninggal
di tahun 1736 akibat penyakit tersebut(16). Contoh lain akibat dari
konspirasi adalah issue tentang penyangkalan terhadap AIDS, yang
meyakini bahwa penyakit AIDS bukan disebabkan oleh HIV. Ketika Afrika
Selatan dipimpin oleh presidennya Thabo Mbeki yang mendukung ide
penyangkalan ini, konsekuensinya  sungguh hebat(18). Mereka menolak
pengobatan untuk AIDS sehingga akibatnya di tahun 2000 hingga 2005,
terjadi 330.000 kematian akibat AIDS, 117.000 kasus baru HIV  dan
35.000 bayi  juga diperkirakan terinveksi virus HIV. Data-data
tersebut menunjukkan bahwa dalam hal science, akibat dari meyakini
sebuah teori konspirasi  sungguh bisa membahayakan.


Namun, meski dampak yang ditimbulkan dari teori konspirasi telah
diketahui, terutama dalam bidang kesehatan masyarakat, akhirnya
keputusan untuk mempercayai teori ini atau tidak, berpulang pada
masing-masing individu. Keputusan yang dibuat tentu tak bisa
main-main, karena akibatnya berhubungan dengan nyawa orang lain.



ASI bisa menggantikan imunisasi



Salah satu saran dari para anti imunisasi adalah menawarkan ASI
sebagai alternatif untuk menggantikan imunisasi. Apakah memang ASI
bisa menggantikan imunisasi?



ASI memang mengandung antibodi untuk melawan kuman, terutama jenis IgA
(Imunoglobulin A) (19). Antibodi adalah protein yang dibuat oleh
sistem kekebalan tubuh untuk melawan benda asing yang masuk (antigen)
seperti bakteri, virus maupun toxin. Tubuh membuat imunoglobulin yang
berbeda untuk melawan antigen yang berbeda pula. Misalnya antibodi
untuk penyakit cacar air akan berbeda dengan jenis antibodi untuk
penyakit pneumonia.



Sejak lahir bayi sudah membawa perlindungan terhadap beberapa penyakit
dari  antibodi  ibunya (IgG) yang disalurkan lewat placenta selama
dalam kandungan. Seperti disebutkan sebelumnya, bayi yang mendapat ASI
juga akan mendapatkan tambahan antibodi (IgA) dari ASI. Tetapi
perlindungan yang didapatkan si bayi tersebut (baik dari antibodi ibu
maupun ASI) tidak bisa digunakan untuk melawan semua penyakit dan
sifatnya pun hanya sementara. IgG ini akan menghilang menjelang si
anak berusia setahun.



Sebagai contoh, antibodi dari ibu akan memberikan perlindungan
sementara terhadap penyakit campak hingga antibodi ibu menghilang saat
9 bulan. Itulah mengapa vaksinasi campak diberikan saat anak berusia 9
bulan (15 bulan untuk MMR).  Namun  meski ampuh melawan penyakit
campak, antibodi ibu tidak memberikan perlindungan terhadap penyakit
pertusis (batuk rejan). Sedangkan untuk ASI, antibodi dalam ASI  lebih
efektif bekerja melawan kuman-kuman yang ada di pencernaan tapi kurang
efektif untuk melawan penyakit infeksi pernafasan.



Jadi meskipun bayi sudah mendapat kekebalan dari si ibu dan juga dari
ASI, tetap saja tidak bisa menggantikan imunisasi. Sebab, selain
alasan yang sudah disebutkan diatas, imunisasi  juga bersifat spesifik
untuk penyakit tertentu. Imunisasi bisa melindungi penyakit-penyakit
spesifik yang tidak bisa (atau tidak cukup) dilakukan oleh antibodi
ibu dan antibodi dari ASI.



Kehalalan vaksinasi



Dalam sebuah tanya jawab soal ‘Pandangan Islam  terhadap imunisasi
pada anak untuk melawan penyakit’, Yusuf Qardawi, seorang ilmuwan
Islam  mengatakan bahwa menggunakan vaksin untuk meningkatkan
kekebalan tubuh adalah halal karena bertujuan untuk mencegah sesuatu
yang membahayakan(19). Menjadi tugas seorang muslim untuk sebisa
mungkin mencegah segala sesuatu yang membahayakan. Selain itu menurut
beliau orangtua bertanggungjawab untuk sebisa mungkin melindungi
anak-anaknya dan meningkatkan daya tahan tubuh mereka untuk melawan
penyakit dan segala sesuatu yang berbahaya.



Dalam tanya jawab tersebut, Qardawi lalu secara spesifik menyoroti
soal polio vaksin, dan menurut beliau, vaksin tersebut sudah digunakan
sejak lama di seluruh dunia termasuk oleh lebih dari 50 negara muslim.
Vaksin tersebut terbukti efektif untuk melawan penyakit polio, dan
tidak ada ahli agama Islam terutama dari Universitas di Mesir yang
keberatan untuk menggunakan vaksin ini.



Di Indonesia sendiri, Biofarma sebagai satu-satunya industri vaksin di
Indonesia sudah memperoleh prakualifikasi dari Badan Kesehatan Dunia
(WHO) setidaknya untuk vaksin dasar: polio, campak, hepatitis B, BCG,
dan DTP (Difteri, Pertusis dan Tetanus) (20). Biofarma juga telah
menjadi kiblat industri vaksin bagi 57 negara Islam dengan program
vaksin halal dan berkualitas. Untuk menjamin vaksin produksinya
termasuk kualifikasi halal, Majelis Ulama Indonesia (MUI) diundang
untuk menyaksikan proses pembuatan vaksin hingga akhirnya MUI
mendukung vaksin-vaksin Biofarma dan membantu sosialiasi vaksin halal
biofarma.





Bagaimana vaksin dibuat



Dalam kutipan salah satu artikel yang menolak imunisasi, tertulis
kalimat-kalimat sebagai berikut:



“Vaksin tersebut dibiakkan di dalam tubuh manusia yang bahkan kita
tidak ketahui sifat dan asal muasalnya. Kita tau bahwa vaksin didapat
dari darah sang penderita penyakit yang telah berhasil melawan
penyakit tersebut. Itu artinya dalam vaksin tersebut terdapat DNA sang
inang dari tempat virus dibiakkan tersebut.”



Benarkah demikian? Sebetulnya, pembuatan vaksin merupakan proses yang
sangat komplex. Untuk membuat vaksin yang aman membutuhkan penelitian
yang intensif dan fase-fase pengujian yang rumit. Pembuatan sebuah
vaksin mulai dari penemuan penyebab penyakit hingga menjadi vaksin
yang siap dipasarkan membutuhkan waktu sekira 50 tahun. Dengan
kemajuan teknologi saat ini, waktu memang bisa dipersingkat, tapi
tetap saja membutuhkan waktu yang lama(21).



Cara pembuatan vaksin bermacam-macam, ada yang dengan melemahkan
kumannya, ada yang dengan mematikan, hanya mengambil sebagian unit
kuman yang memang bisa langsung merangsang sistem kekebalan tubuh
(tidak seluruh kuman), mengambil toxin si kuman lalu mematikannya
(toxoid vaccine), atau membuat link antigen (conjugate vaccine). Saat
ini sedang dikembangkan juga DNA vaccine. DNA dari antigen si kuman X
diambil, lalu dimasukkan ke dalam tubuh manusia. Nanti DNA kuman dalam
sel tubuh manusia itu akan menyuruh si sel untuk memproduksi antigen.
Jadi sel tubuh sendiri yang akan menjadi ‘pabrik pembuat vaccine’:
memproduksi sendiri antigen yang diperlukan untuk merangsang timbulnya
kekebalan tubuh.



Sehubungan dengan kutipan anti imunisasi diatas, terlihat jelas bahwa
sebetulnya vaksin bukan didapat dari darah sang penderita penyakit.
Tetapi vaksin berasal dari kuman yang bisa jadi memang diambil dari
penderita yang sakit. Namun bukan DNA dari darah orang yang sakit yang
diambil, tapi DNA si kuman atau kumannya secara utuhlah yang diambil.
Jadi pembuatan vaksin tidak berhubungan dengan DNA si penderita
penyakit.



Untuk melemahkan atau mematikan kuman yang hendak dijadikan vaksin,
memang membutuhkan tempat pembiakan, bisa dengan media tumbuhan,
binatang, ataupun jaringan tubuh manusia(24). Namun setelah si kuman
berkembang biak lalu melemah atau dimatikan, hasil perkembangbiakan
virus atau bakteri ini akan dipisahkan dari media untuk
mengembangbiakkannya. Jadi tempat pembiakan ini hanya merupakan media
dan selanjutnya yang digunakan untuk menjadi vaksin hanyalah kumpulan
kuman-kuman yang dilemahkan atau dimatikan tadi.



Setelah vaksin berhasil dibuat, proses sehingga bisa dipasarkan masih
panjang. Pertama, vaksin ini harus lulus uji test keamanan terhadap
binatang terlebih dulu. Bila aman, lalu bisa lanjut ke fase uji I,
yang dilakukan hanya pada sekira 10-20 orang. Bila lulus dan aman,
baru bisa maju ke fase uji II yang dilakukan pada orang lebih banyak
dengan jumlah ratusan. Setelah itu, si vaksin harus melewati lagi uji
fase II b dan III yang diujikan pada orang lebih banyak lagi. Setelah
lulus uji III pun masih harus dipantau keamanannya jika mulai
dipasarkan. Intinya, pembuatan sebuah vaksin membutuhkan proses
panjang dan kompleks untuk kemudian bisa lolos dipasaran.



Penutup



Data-data dan ajakan untuk mengkaji ulang tentang penolakan anti
imunisasi telah dibeberkan. Manfaat dan kerugian imunisasi juga bisa
ditimbang. Kita tidak hidup di jaman dimana penyakit-penyakit infeksi
yang bisa dicegah dengan vaksinasi seperti polio, diptheri, pertusis
(batuk rejan), campak, rubella (campak jerman), dan gondongan masih
begitu merebak. Akibatnya apresiasi terhadap keberadaan vaksin untuk
mencegah penyakit tersebut menjadi berkurang. Di abad ke 19 dan awal
abad 20 dulu, ratusan ribu orang di Amerika Serikat terserang penyakit
ini setiap tahunnya, puluhan ribu orang pun meninggal terutama
anak-anak. Di jaman itu, mendengar nama-nama penyakitnya saja sudah
membuat orang-orang ketakutan(21). Coba bayangkan jika vaksin tidak
ditemukan lalu hingga saat ini jumlah anak yang menderita penyakit
tersebut masih begitu besar, anak-anak kita terus-terusan terkena
penyakit menular dan terancam meninggal, apa kita tak kelimpungan?



Tapi sekali lagi, akhir sebuah keputusan tentu saja berpulang pada
masing-masing orang. Benar, bahwa setiap manusia punya hak atas sebuah
pilihan, yang harus dihargai dan tentu tidak bisa diabaikan. Namun
tolong, sebelum memutuskan, pikirkan dengan matang, cek dan ricek
informasi yang datang. Gunakan hati, pikiran dan akal untuk mencari
yang benar, bukan  sekedar ikut-ikutan atau karena pengaruh peer
pressured, tekanan dari kawan dan handai taulan. Tolong digarisbawahi
benar bahwa keputusan yang diambil kemudian, bukan hanya berpengaruh
pada anak kita seorang, tapi juga beresiko menolong atau membahayakan
anak-anak di sekitar. Ingat, keputusan kita bisa mematikan. Tegakah
hati melihat anak-anak jiwanya terancam hanya karena kita gegabah
dalam mengambil keputusan? (Agnes Tri Harjaningrum)



[ Download versi: e-book PDF, 23 halaman ]



Daftar Pustaka



Mercer J, PhD. Lady Mary Wortley Montagu: A contributor to public
health, about a fascinating figure in the history of vaccination.
[Online].;2009 [dikutip 15 October 2001]. Diakses dari:
http://www.psychologytoday.com/blog/child-myths/200909/lady-mary-wortley-montagu-contributor-public-health

ScienceDaily. How poxviruses such as samllpox evade the immune system.
[Online].;2008 [dikutip 15 October 2001]. Diakses dari:
http://www.sciencedaily.com/releases/2008/01/080131122956.htm

CDC. Smallpox Disease Overview. [Online].;2007 [dikutip 15 October
2001]. Diakses dari:
http://www.bt.cdc.gov/agent/smallpox/overview/disease-facts.asp

WHO. Smallpox. [Online].;2001 [dikutip 15 October 2001]. Diakses dari:
 http://www.who.int/mediacentre/factsheets/smallpox/en/

The history of vaccines.Timeline. [Online].;2001 [dikutip 15 October
2001]. Diakses dari:
http://www.historyofvaccines.org/content/timelines/all

Rosenhek J. Safe smallpox innoculation. [Online].;2005 [dikutip 15
October 2001]. Diakses dari:
http://www.doctorsreview.com/history/feb05-history/

Poland GA, Jacobson RM. Understanding those who do not understand: a
brief review of the anti-vaccine movement. Vaccine.[Online].;2010
[dikutip 15 October 2001]. Diakses dari:
http://www.morrisonlucas.com/GL/vaccines/Vaccine_19_2440_anti_vaccine_movement.pdf

Friedlander E. The Anti-Immunization Activists: A Pattern of
Deception. [Online].;2010 [dikutip 15 October 2011]. Diakses dari:
http://www.pathguy.com/antiimmu.htm

The College of Phycisian of Philadelphia. History anti vaccination
movements. [Online].;2011 [dikutip 15 October 2011]. Diakses dari:
http://www.historyofvaccines.org/content/articles/history-anti-vaccination-movements

10.  CDC. Vaccine Adverse Event Reporting System (VAERS)
[Online].;2011 [dikutip 16 October 2011]. Diakses dari:
http://www.cdc.gov/vaccinesafety/Activities/vaers.html

11.  Los Angeles Time. Public Health: Not vaccinated, not acceptable?
[Online].;2011 [dikutip 15 October 2011]. Diakses dari:
http://articles.latimes.com/2011/jul/18/opinion/la-oe-ropeik-vaccines-20110718

12.  Antaranews. Biofarma jawab pro kontra imunisasi. [Online].;2011
[dikutip 15 October 2011]. Diakses dari:
http://www.antaranews.com/berita/278863/bio-farma-jawab-pro-kontra-imunisasi

13.  Lindsay A.The hazards of low vaccination rates. [Online].;2010
[dikutip 16 October 2011]. Diakses dari:
http://www.sonic.net/~medsoc/images/bulletins/AUGUST%202011%20EXCERPTS.pdf

14.  Fikri A. Selama 2011, penderita campak di Jawa Barat tembus 950
orang.  [Online].;2011 [dikutip 16 October 2011]. Diakses dari:
http://www.tempointeraktif.com/hg/bandung/2011/10/18/brk,20111018-361978,id.html

15.  Pigden C. Conspiracy theory and conventional wisdom.
[Online].;2007 [dikutip 16 October 2011]. Diakses dari:
http://www.niu.edu/~gpynn/Pidgen_ConspiracyTheories&TheConventionalWisdom.pdf

16.  Goertzel T. Conspiracy theories in science. [Online].;2010
[dikutip 16 October 2011]. Diakses dari:
http://www.nature.com/embor/journal/v11/n7/full/embor201084.html

17.  McIntyre  P dan Leask J. Improving uptake of MMR vaccine.
[Online].;2008 [dikutip 16 October 2011]. Diakses dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2287215/?tool=pmcentrez

18.  Chigwedere P, Seage GR, Gruskin S, Lee TH, Essex M (October
2008). "Estimating the Lost Benefits of Antiretroviral Drug Use in
South Africa". Journal of acquired immune deficiency syndromes (1999)
49 (4): 410–415

19.  Immunization Advisory Centre University of Auckland. The infant
immune system and immunization. [Online].;2006 [dikutip 20 October
2011]. Diakses dari:
http://www.immune.org.nz/site_resources/Professionals/Vaccinology/The_infant_immune_system_and_immunisation.pdf

20.  Majelis Ulama Indonesia. Biofarma ‘kiblat’ vaksin halal dunia.
[Online].;2011 [dikutip 15 October 2011]. Diakses dari:
http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=545%3Abio-farma-qkiblatq-vaksin-halal-dunia&catid=1%3Aberita-singkat&Itemid=50

21.  National Institute of Allergy and Infectious. Understanding
vaccines, what they are how they work.  [Online].;2008 [dikutip 20
October 2011]. Diakses dari:
http://www.niaid.nih.gov/topics/vaccines/documents/undvacc.pdf

22.  Pramudiarja A, U. Satu saja anak tak diimunisasi efeknya bisa
memicu wabah.   [Online].;2011 [dikutip 20 October 2011]. Diakses
dari: http://us.health.detik.com/read/2011/10/18/115311/1746520/764/satu-saja-anak-tak-diimunisasi-efeknya-bisa-memicu-wabah

23. Triggle N. MMR doctor struck from register. [Online].;2010
[dikutip 16 October 2011]. Diakses
dari:http://news.bbc.co.uk/2/hi/health/8695267.stm

24. Ellis R,W. New vaccines technology. [Online].;2001 [dikutip 20
October 2011]. Diakses
dari:http://61.183.207.199/suite/resource/download.do?key=1754864

25. Goldrace B. And now, nerd news. [Online].;2009 [dikutip 20 October
2011]. Diakses dari:
http://www.badscience.net/2009/10/and-now-nerd-news/#more-1369

12 comments:

  1. waah terimakasih atas tambahan infonya. Nanti saya tambahkan link ini ke tulisan saya ya.

    ReplyDelete
  2. eh udah dibalas aja... silahkan dok :)

    ReplyDelete
  3. semingguan ini pada ngomongin vaksinasi terus

    ReplyDelete
  4. sangat mencerahkan...terima kasih ^_^

    ReplyDelete
  5. iyah emang.... blog ini pun tiba2 jadi rame pengunjungnya hihi

    ReplyDelete
  6. sama-sama mbak... semoga bermanfaat :)

    ReplyDelete
  7. wah komen saya kok tidak ada yah,,,

    ReplyDelete
  8. Kalo vaksin sudah diuji cobakan kepada hewan, kenapa banyak hwan yang mengalami penyakit2 degeneratif atau autoimun bahkan kanker setelah vaksinasi? Saya tau pasti itu terjadi karena saya sendiri seorang dokter hewan. sudah banyak korban yang berjatuhan setelah vaksinasi.

    Modified live-virus (MLV) vaccines replicate in the patient until an immune response is provoked. If a defense isn't stimulated, then the vaccine continues to replicate until it gives the patient the very disease it was intending to prevent. Alternatively, a deranged immune response will lead to inflammatory conditions such as arthritis, pancreatitis, colitis, encephalitis and any number of autoimmune diseases such as cancer and leukemia, where the body attacks its own cells. A new theory, stumbled upon by Open University student Gary Smith, explains what holistic practitioners have been saying for a very long time.

    http://www.vitalityscience.com/v/articles/Vaccination.asp

    ReplyDelete
  9. Bahkan seorang dokter anak di Bandung (maaf tidak bisa saya kasih info siapa orangnya) dengan jujur mengatakan vaksin terutama MMR tidak aman, bisa menyebabkan autis.

    ReplyDelete